PERATURAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
23 TAHUN 2014
TENTANG UPAYA PERBAIKAN GIZI
OLEH
:
NAMA : HERAWATI
NIM : 016110003
PROGRAM
KESEHATAN MASYARAKAT
PASCASARJANA
STIK TAMALATE
MAKASSAR
2017
RINGKASAN EKSEKUTIF
v ISU
DAN MASALAH PUBLIK
v TUJUAN
KEBIJAKAN
v SUBTANSI
POKOKKEBIJAKAN
v MASALAH
YANG TIMBUL AKIBAT KEBIJAKAN
v RESISTENSI
TERHADAP KEBIJAKAN
v PREDIKSI
KEBERHASILAN
v KESIMPULAN
REKOMENDASI
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
RINGKASAN EKSKLUSIF
BAB
I : KAJIAN KEBIJAKAN
1.1
MASALAH DASAR
1.2
TUJUAN YANG INGIN DI
CAPAI
1.3
SUBTANSI KEBIJAKAN
BAB
II : KOSEKUENSI DAN RESISTENSI
2.1 PRILAKU
YANG MUNCUL ( POSITIF DAN NEGATIF)
2.2 RESISTENSI
BAB III : PREDIKSI KEBERHASILAN
3.1 PREDIKSI
TRADE OOF
3.2 PREDIKSI
KEBERHASILAN
BAB
IV : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
PENDAHULUAN
Gizi
merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Masalah gizi ini diikuti dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk, sehingga kebutuhan pangan seharihari tidak dapat
terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada kesehatan saja, akan
tetapi berdapak pula pada pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas
dimasa yang akan datang. Sari (2011) Data prevalensi gizi buruk mengalami
penurunan dari 9,7% di tahun 2005 menjadi 4,9% di tahun 2010 dan diharapkan
pada tahun 2015, pravelensi gizi buruk dapat turun menjadi 3,6 %. Walaupun
terjadi penurunan gizi buruk di Indonesia, tetapi masih akan ditemui sekitar
3,7 juta balita yang mengalami masalah gizi. Minarto (2011)
Upaya
perbaikan gizi masyarakat disebutkan dalam undang-undang No 36 tahun 2009
bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain
melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi. Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam laporan target Millenium
Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan yang berhubungan dengan
kemiskinan dan kelaparan menyatakan salah satu tujuan paling penting adalah
penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan tujuan tersebut,
maka salah satu target dalam MDGs ke empat yaitu berhubungan dengan penurunan
kematian balita dan merupakan target paling
menentukan
adalah penurunan prevalensi kasus gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas RI,
2010). Terkait dengan hal tersebut bahwa pencapaian penurunan prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk dalam MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 15,0% dan 3,5%
(Endang, 2011).
Jumlah
balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia terus menurun sejak tahun 2004
sampai tahun 2007. Tahun 2010 dilaporkan secara nasional sudah terjadi
penurunan prevalensi gizi buruk yaitu menjadi 4,9%, dan balita stunting yaitu
menjadi 35,6%. Tetapi prevalensi gizi kurang masih menunjukkan angka yang sama
dari keadaan tahun 2007 yaitu masih sebesar 13,0% (Kemenkes
RI,
2010a). Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi,
tetapi masih terdapat 18 provinsi diatas prevalensi nasional, dan Provinsi Aceh
termasuk 10 besar dengan masalah gizi. Keadaan prevalensi gizi di Propinsi Aceh
dari laporan Riskesdas 2010 menurut indikator BB/U sebesar 7,1% mengalami gizi
buruk dan sebesar 16,6% mengalami gizi kurang. Prevalensi sangat pendek menurut
Indikator TB/U sebesar 24,2% dan balita yang pendek sebesar 14,8% serta
prevalensi kekurusan pada balita yaitu menurut indikator BB/TB yaitu sebesar
6,3% sangat kurus dan 7,9% kurus (Kemenkes RI, 2010a).
Dalam
mencapai tujuan RPJMN 2010-2014 pada bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan
telah menetapkan rencana strategi yang memuat berbagai indikator keluaran yang
harus dicapai, baik bersifat kebijakan maupun strategis. Didalam perbaikan gizi
terdapat delapan indikator yang telah ditetapkan, dua diataranya yaitu 100%
balita gizi buruk dirawat dan kabupaten/kota melakukan surveilans gizi
(Kemenkes, 2010b). Dalam Pemantauan Status Gizi diperlukan suatu penilaian
terhadap status gizi yang bersumber dari baku rujukan. Untuk mengetahui
besarnya masalah gizi pada suatu populasi umumnya digunakan indikator status
gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi (Kemenkes, 2011). Pemantauan
Status Gizi (PSG) sebagai salah satu komponen Sistem Kewaspadaan Pangan dan
Gizi (SKPG) telah dilakukan semenjak Pelita IV dengan tujuan memberikan
informasi gambaran besaran masalah gizi kurang(Depkes, 2000). Berdasarkan UU RI
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38
tahun 2007 tentang Pembiayaan Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan, bahwa informasi
status gizi memegang peranan penting dalam menentukan perencanaan program di
daerah.
Pengembangan data serta sistem
informasi kesehatan di kota/kabupaten adalah sebagai pendukung pengambilan
keputusan manajemen baik perbaikan
pelayanan maupun program kesehatan secara langsung. Pengumpulan data
yang baik serta memadai dan seharusnya dilakukan secara rutin oleh pemegang
program atau kegiatan survei, tetapi data atau informasi tidak teranalisis
secara baik atau tidak dapat diakses secara tepat waktu dan untuk pemakai yang
benar (Depkes, 2002). Menurut Lei (2002), pencatatan dan pelaporan merupakan
indikator dari keberhasilan suatu kegiatan. Tanpa ada pencatatan dan pelaporan,
apapun bentuk program gizi yang dilakukan akan meperoleh manfaat yang
kurang baik. Hasil dari pencatatan dan
pelaporan merupakan sebuah data dan informasi yang berharga dan bernilai bila
menggunakan metode yang tepat dan benar. Sehingga, data dan informasi merupakan
sebuah unsur terpenting, karena data dan informasilah yang berbicara tentang
keberhasilan suatu program.
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG UPAYA
PERBAIKAN GIZI
A. MASALAH
1.
Ketahanan pangan keluarga yang kurang
memadai , setiap keluarga di harapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarga dalam jumlah yang cukup baik jumlah maupun mutu gizi
nya
2.
Pola pengasuhan anak kurang memadai ,
setiap keluarga dan masyarakata diharapkan dapat menyediakan waktu , perhatian,
dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik fisik mental
dan social.
3.
Pelayanan kesehtan dan lingkungan kurang
memadai , sistim pelayanan kesehtan yang ada diharapkan dpat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkao oleh setiap keluarga
B. TUJUAN
Mendorong
perubahan sikap dan prilaku yang mendukung perbaikan gizi balita dan keluarga
melalui peningkatan pengertian ,
partisipasi dan pemerataan hasil kegiatan untuk mencapai keluarga yang
lebih berkualitas
C. SUB
KEBIJAKAN
1. Gizi Seimbang adalah susunan hidangan
makanan sehari yang terdiri atas berbagai ragam bahan makanan yang berkualitas
dalam jumlah dan proporsi yang sesuai dengan aktifitas fisik, umur, jenis
kelamin dan keadaan fisiologi tubuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi
seseorang, guna pemeliharaan dan perbaikan sel tubuh dan proses kehidupan serta
pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.
2. Keluarga Sadar Gizi yang selanjutnya
disingkat KADARZI adalah suatu keluarga yang mampu mengenal, mencegah, dan
mengatasi masalah gizi setiap anggotanya.
3. Pelayanan Gizi adalah rangkaian kegiatan untuk
memenuhi kebutuhan gizi perorangan dan masyarakat melalui upaya pencegahan,
peningkatan, penyembuhan, dan pemulihan yang dilakukan di masyarakat dan
fasilitas pelayanan kesehatan.
4. Angka Kecukupan Gizi adalah suatu nilai
acuan kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut
golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas fisik untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal.
5. Tenaga Gizi adalah setiap orang yang telah
lulus pendidikan di bidang gizi sesuai ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
6. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu
alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
7.
Pemerintah
Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia
yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintah daerah.
9.
Menteri
adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
BAB
II
KOSENKONSI
DAN RESIS TENSI
A.
PRILAKU YANG MUNCUL
1.
POSITIF
Ø MEMBUAT PEKERJA YANG SEMULA ABSEN KERJA TIDAK
ABSEN
Ø MEMBANTU
MEMPERPANJANG MASA KERJA
Ø MENAIKAN
KEMAMPUAN PRODUKTIFITAS KERJA
Ø MENETAPKAN
KEADAAN YANG MEMUNKINKAN ANAK BISA MASUK SEKOLAH KEMBALI
Ø MENINGKATKAN
DAYA TANGKAP DALAM MENERIMA PELAJARAN ATAU KEMAMPUAN ORANG DEWASA MENYERAP
MATERI SUATU TRANING.
2.
NEGATIF
Ø KETIDAK
SESUAIAN JUMLAH BANTUAN PROGAM YANG DIRENCANAKAN DARI PUSAT SAMPE KED DAERAH
Ø KURANG
SIAP SIAGANYA TENAGA PENYALURAN PROGAM DI LAPANGAN.
Ø BESARNYA
DANA YANG DI KELUARKAN DARI PUSAT TIDAK SESUAI DENGAN DI LAPANGAN
B.
RESISTENSI
1.
MASYARAKAT
2.
PUKISMAS
3.
DINAS KESEHATAN
4.
MENTRIKESEHATAN
BAB III
PREDIKSI KEBERHASILAN
A. PREDIKSI
“TRADE –OFF”
Upaya
Perbaikan Gizi masyarakat bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi serta konsumsi
pangan, sehingga berdampak pada perbaikan keadaan atau status gizi, terutama
status gizi kurang dan status gizi buruk, serta mempertahankan keadaan status
gizi baik.
Dengan
telah berfungsinya dan berjalannya
kebijakan perbaikan gizi mayarakat sangat membantu dalam
penanganan beberapa kasus gizi buruk / gizi kurang atau kesulitan makan pada
bayi / balita maupun pemberian panduan diet pada pasien dengan penyakit kronis,
seperti Diabetes Mellitus, Hipertensi, TB Paru, maupun Obesitas.
B.
PREDIKSI KEBERHASILAN
Dalam
SKN 2004 dinyatakan sekurang-kurangnya Puskesmas melaksanakan enam jenis
pelayanan kesehatan tingkat dasar, yaitu promosi kesehatan, kesehatan ibu dan
anak serta keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat.
Prediksi
keberhasilan kebijakan Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang upaya perbaikan gizi sangat besar, ditambah
dengan masuknya nilai-nilai global dan universal yang semakin membuka mata kita
akan ketertinggalan keadaan gizi
kesehatan dibanding negara-negara lain dan akan mendorong kita untuk mempercepat
ketertinggalan tersebut, termasuk dengan mengimplementasikan Undang-undang
Kesehatan beserta dengan aturan pelaksanaannya.
BAB 1V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KESIMPULAN
Gizi
merupakan salah satu masalah kesehatan di berbagai negara, baik di negara maju
maupun di negara berkembang. Masalah gizi ini diikuti dengan semakin
bertambahnya jumlah penduduk, sehingga kebutuhan pangan seharihari tidak dapat
terpenuhi.
Upaya
perbaikan gizi masyarakat disebutkan dalam undang-undang No 36 tahun 2009
bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain
melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi.
Dalam mencapai tujuan
RPJMN 2010-2014 pada bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menetapkan
rencana strategi yang memuat berbagai indikator keluaran yang harus dicapai,
baik bersifat kebijakan maupun strategis. Didalam perbaikan gizi terdapat
delapan indikator yang telah ditetapkan, dua diataranya yaitu 100% balita gizi
buruk dirawat dan kabupaten/kota melakukan surveilans gizi (Kemenkes, 2010b).
Dalam Pemantauan Status Gizi diperlukan suatu penilaian terhadap status gizi
yang bersumber dari baku rujukan.
REKOMENDASI
Undang-undang
nomor 23 tahun 2014 tentang upaya perbaikan gizi ini sudah cukup baik,
dan sudah antisipatif terhadap masyarakat
tetapi masih ada beberapa pasal bermasalah yang perlu direvisi. Redaksional
kebijakan tentang perbaikan gizi
masyarakat ini harus jelas sebagai bahasa hukum, tidak
boleh ada kata-kata bermakna ganda.
0 komentar:
Posting Komentar